Essai Bulan April: "Ketika Robot Jadi Guru: AI dan Pola Pikir Mahasiswa di Era Digital"

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Di lingkungan perguruan tinggi, AI kini bukan hanya sebagai alat bantu belajar, tapi juga mulai memengaruhi cara mahasiswa berpikir. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada cara belajar secara teknis, tapi juga pada bagaimana mahasiswa memahami, mengolah, dan menggunakan informasi dalam kegiatan akademik mereka.

Bayangkan sebuah ruang kuliah tempat mahasiswa duduk sambil mengetik, bukan mencatat materi dari dosen di depan kelas, melainkan berdiskusi dengan asisten virtual yang bisa menjawab pertanyaan, merekomendasikan buku, bahkan memberi latihan soal sesuai gaya belajar tiap orang. Ini bukan lagi sekadar fiksi ilmiah, tetapi realitas yang secara perlahan-lahan menjadi bagian dari kehidupan akademik mahasiswa saat ini. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bukan hanya teknologi pendukung, tetapi mulai mengambil peran sebagai "guru" baru dalam proses belajar.
Dulu, pengetahuan diperoleh secara dominan dari dosen, buku teks, dan diskusi konvensional. Kini, mahasiswa memiliki akses tak terbatas terhadap berbagai sumber informasi melalui platform berbasis AI seperti ChatGPT, Perplexity, dan sejenisnya. Mereka tidak lagi harus menunggu penjelasan panjang lebar di kelas, tetapi dapat secara aktif menggali informasi dan mempercepat proses pembelajaran secara mandiri.

Namun, di sisi lain, kemudahan yang ditawarkan AI bisa menjadi pedang bermata dua. Ketika mahasiswa terlalu mengandalkan jawaban instan dari AI tanpa memahami proses berpikir di baliknya, kemampuan berpikir kritis justru bisa melemah. Dalam banyak kasus, mahasiswa tergoda untuk sekadar menyalin jawaban dari chatbot tanpa membaca atau mengevaluasinya. Jika hal ini dibiarkan, pola pikir mereka bisa terbentuk menjadi instan dan permukaan, yang tidak lagi mengejar pemahaman mendalam, tetapi hanya hasil cepat.

Kecenderungan ini dapat menumbuhkan pola pikir konsumtif terhadap informasi, menerima tanpa mencerna, dan menyimpulkan tanpa menelaah. Bahkan dalam tugas-tugas akademik, ada risiko mahasiswa kehilangan motivasi untuk berpikir mandiri karena merasa semua jawaban sudah tersedia di ujung jari. Di sinilah peran pendidik dan mahasiswa sendiri menjadi penting, untuk menempatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Sebagai mahasiswa yang juga bersentuhan langsung dengan teknologi AI dalam aktivitas belajar sehari-hari, saya merasakan betul bagaimana AI membawa dampak yang sangat besar baik positif maupun negatif. Di satu sisi, saya merasa terbantu dengan kecepatan dan kemudahan akses informasi. AI memungkinkan saya menyusun ide dengan lebih cepat, memahami materi yang sulit melalui penjelasan sederhana, dan bahkan mengeksplorasi topik di luar kurikulum kampus. Namun, di sisi lain, saya juga mulai menyadari bahwa kemudahan ini bisa membuat saya terlena. Ada momen ketika saya ingin cepat menyelesaikan tugas tanpa benar-benar berpikir panjang.

Namun, meskipun demikian, saya menyadari bahwa AI bukanlah ancaman selama kita bisa menempatkannya pada posisi yang tepat. Ia harus dilihat sebagai alat bantu, bukan otoritas utama. Dengan demikian, meskipun "robot" dapat menjadi guru, peran utama dalam proses belajar tetap berada di tangan mahasiswa. AI hadir bukan untuk menggantikan proses belajar, melainkan untuk memperkuatnya selama digunakan dengan kesadaran, keseimbangan, dan tanggung jawab.

Penulis: Atifa Aulianti Fani

Posting Komentar untuk "Essai Bulan April: "Ketika Robot Jadi Guru: AI dan Pola Pikir Mahasiswa di Era Digital""