Indonesia, sebagai negara multikultural yang kaya akan keberagaman suku, budaya, dan bahasa, kerap menghadapi tantangan serius seperti rasisme dan kekerasan berbasis identitas etnis. Fenomena ini tidak hanya mengancam harmoni sosial tetapi juga merusak fondasi persatuan bangsa. Di Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan, keberagaman seharusnya menjadi modal sosial yang memperkuat solidaritas, namun ironisnya masih kerap terjadi kasus diskriminasi dan kekerasan atas dasar identitas daerah atau etnis. Oleh karena itu, perlu komitmen bersama untuk menolak segala bentuk rasisme dan mengakhiri kekerasan berbasis identitas.
Rasisme tidak sekadar prasangka, melainkan sistem diskriminasi yang berpotensi melahirkan kekerasan struktural. Di Makassar, misalnya, stereotip negatif antaretnis seperti Bugis-Makassar versus pendatang kerap memicu ketegangan sosial. Dampaknya tidak hanya psikologis bagi korban, tetapi juga menciptakan polarisasi masyarakat yang menggerus rasa kebangsaan. Kekerasan berbasis identitas sering kali berakar dari ketidaktahuan akan budaya berbeda, pemahaman sempit tentang identitas kelompok, serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku diskriminasi.
Pendidikan multikultural menjadi kunci utama dalam membangun kesadaran. Institusi pendidikan di Makassar perlu mengintegrasikan muatan lokal tentang kearifan budaya Sulawesi Selatan dalam kurikulum, mengadakan dialog antaretnis yang melibatkan mahasiswa dan komunitas adat, serta melatih guru untuk menjadi agen toleransi. Sementara itu, penegakan hukum harus lebih tegas. Putusan pengadilan terhadap kasus rasisme harus menjadi preseden bahwa tindakan diskriminatif tidak toleransi.
Masyarakat Makassar dapat berkontribusi melalui gerakan sosial dengan membentuk komunitas lintas etnis seperti "Makassar Tanpa Rasisme" yang menggelar festival budaya tahunan, mendampingi korban dan melaporkan kasus ke Lembaga Bantuan Hukum setempat, serta mendorong jurnalis untuk menghindari pemberitaan sensasional yang memicu stereotip. Media lokal perlu lebih banyak menyoroti kisah inspiratif tentang kolaborasi antaretnis, alih-alih memperuncing perbedaan.
Melalui kombinasi pendidikan toleransi, penegakan hukum progresif, dan kerja sama seluruh pemangku kepentingan, Makassar dapat menjadi model kota inklusif di Indonesia. Keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan yang harus dirawat. Mari suarakan bersama: "Tidak untuk rasisme! Stop kekerasan atas nama identitas!"
Penulis: Ira Titin Ombe
Referensi:
1. Putri, Putri Erna Oktavia. “Kebijakan Hukum Terkait Tindakan Rasisme Yang Melumpuhkan Sistem Keadilan Di Indonesia.” Jurnal Rechten : Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia, vol. 1, no. 2, 20 June 2022, pp. 29–35, https://doi.org/10.52005/rechten.v1i2.46. Accessed 13 July 2022.
2. Hikmah Jurnal UIN, 2021. Menilik Iklim Neo-Rasisme di Indonesia pada Era Media Baru.
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Juli: "KATAKAN TIDAK PADA RASISME: STOP KEKERASAN BERBASIS IDENTITAS DAERAH/ETNIS DI MAKASSAR""