Essai Bulan Juli: “Terputusnya Asa: Realita Anak Lulusan SMA yang Tidak Melanjutkan Kuliah”

Salah satu pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang bermutu tinggi adalah pendidikan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa tidak semua lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka harus menerima nasib menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal yang minim prospek karier. Faktanya, banyak pekerjaan resmi sekarang memerlukan gelar sarjana (S1) sebagai kualifikasi minimum untuk banyak pekerjaan formal (WorldBank, 2025)
 Berdasarkan data dari Statistik Pendidikan 2023 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi sekolah (APS) untuk kelompok umur 19-23 tahun hanya sebesar 28,96%. Ini berarti sekitar 71% dari penduduk usia kuliah tidak sedang mengenyam pendidikan tinggi (BPS, 2023). Selain itu, tingkat penyelesaian pendidikan untuk jenjang SMA/sederajat hanya mencapai 66,79% (BPS, 2023), menunjukkan masih banyak siswa yang bahkan tidak menamatkan pendidikan menengah atasnya dengan penyebab utama adalah faktor ekonomi.
 Selain faktor ekonomi, keterbatasan informasi juga menjadi faktor yang tak kalah penting. Banyak siswa, terutama dari sekolah di daerah pinggiran atau pelosok, tidak mengetahui bahwa ada berbagai jalur masuk perguruan tinggi maupun beasiswa yang tersedia seperti KIP Kuliah. Mereka tidak diajarkan cara membuat esai beasiswa, mendaftar KIP Kuliah atau mempersiapkan tes masuk. Program sosialisasi perguruan tinggi sering kali hanya menjangkau sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar. Di luar itu, siswa dibiarkan mengandalkan informasi dari media sosial atau mulut ke mulut, yang belum tentu akurat dan lengkap.
Selain itu, tekanan untuk langsung bekerja setelah SMA juga tak kalah penting. Banyak lulusan SMA yang merasa dituntut untuk segera mencari penghasilan demi membantu keluarga. Di sektor informal seperti ojek online, kurir atau kasir mereka bisa mendapatkan uang lebih cepat dari pada jika menunggu 4 tahun kuliah. Namun, pekerjaan ini seringkali tidak berkelanjutan secara jangka panjang. Situasi ini memperlihatkan bahwa kuliah masih dianggap sebagai kemewahan, bukan kebutuhan.
 Fenomena ini menjadikan banyaknya lulusan SMA yang tidak melanjutkan kuliah adalah rekleksi dari berbagai tantangan yang tekait. Maka dari itu perlu melibatkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, perguruan tinggi negeri maupu swasta hingga orang tua. Pemerintah harus memperluas akses beasiswa serta sosialisasi KIP Kuliah hingga daerah terpencil. Sekolah perlu membekali bimbingan informasi terkait perguruan tinggi, sementara perguruan tinggi bisa menyediakan dukungan seperti beasiswa. Di sisi lain orang tua juga memberikan dukungan moral dan motivasi, serta menanamkan kesadaran bahwa pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang, bukan beban, meskipun kondisi ekonomi terbatas.
 Hal ini jika tidak segara diatasi maka indonesia akan terus mengalami kesenjangan kualitas SDM yang dapat menghambat kemajuan bangsa. Pendidikan tinggi bukan sekedar hak individu, tetapi juga investasi untuk masa depan negeri. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak bekerja sama agar tidak ada lagi anak bangsa yang tertahan atau tidak melanjutkan pendidikan hanya kerena tidak mampu melanjutkan kuliah.

Penulis: Miftah Isra Khairati

Referensi:

BPS. (2023). Statistik Pendidikan 2023. 12.

WorldBank. (2025). Tertiary Education. worldbank.org.

Posting Komentar untuk "Essai Bulan Juli: “Terputusnya Asa: Realita Anak Lulusan SMA yang Tidak Melanjutkan Kuliah”"