“Bahasa bukan hanya soal kata, tapi juga tentang bagaimana hati bisa saling memahami.”
Bagi sebagian orang, komunikasi berlangsung lancar melalui kata-kata. Namun, bagi teman tuli, dunia mereka sunyi dan penuh tantangan ketika harus berinteraksi dengan masyarakat luas yang terbiasa dengan bahasa verbal. Tidak jarang mereka harus menulis di ponsel atau menggunakan gerakan seadanya agar dipahami. Hal ini menunjukkan masih adanya jarak komunikasi antara dunia sunyi teman tuli dengan dunia riuh kita yang penuh percakapan.
Saya sendiri pernah merasakannya ketika bertemu seorang teman tuli di suatu tempat. Karena tidak menguasai bahasa isyarat, kami hanya berbicara lewat tulisan. Dari pengalaman itu, saya menyadari bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga tentang membangun rasa saling mengerti. Kesadaran tersebut mendorong saya mengikuti kelas bahasa isyarat yang diadakan oleh PUSBISINDO, di mana saya belajar bahwa setiap gerakan tangan dan ekspresi adalah jembatan empati.
Sebagaimana kita ingin didengar melalui kata-kata, teman tuli pun ingin merasakan hal yang sama, bahwa suara hati mereka dipahami dan dihargai. Bahasa isyarat adalah jalan agar hal itu terwujud. Jika bahasa ini diajarkan di sekolah, kampus, hingga lingkungan kerja, tentu komunikasi akan lebih inklusif dan hubungan sosial menjadi lebih setara.
Pada akhirnya, bahasa isyarat bukan sekadar alat berbicara, melainkan simbol kepedulian. Dengan mempelajarinya, kita membuka ruang komunikasi yang ramah bagi semua orang.
“Setiap gerakan tangan adalah suara, dan setiap isyarat adalah cara hati untuk tetap bisa didengar.”
Penulis: Nurhalinda David
Posting Komentar untuk "Essai Bulan September: “Komunikasi Tanpa Suara: Ketika Tangan Bicara, Hati Mendengar”"