Ekonomi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya yang berada di pedesaan sangat bergantung pada hasil pertanian. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Indonesia, dengan luas panen mencapai 976.258,14 hektar, yang mencakup 9,2% dari total luas panen di negara ini. Produksi padi di provinsi ini tercatat sebesar 4.708.464,97 ton, yang berkontribusi sekitar 8,48% terhadap total produksi padi nasional (Tenriawaru et al., 2021). Sejalan dengan hal itu, tak jarang orang tua di Sulawesi Selatan yang menganggap bahwa memiliki banyak anak merupakan suatu berkah yang membawa rezeki sebab dapat menambah tenaga kerja untuk menggarap tanah pertanian.
Selain itu, ajaran agama juga turut memperkuat keyakinan para orang tua. Dalam ajaran Islam yang dominan dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, anak dianggap anugerah dari Tuhan dan meyakini bahwa semakin banyak anak, maka semakin banyak pula berkah dan rezeki yang akan datang. Kemudian kepercayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi yang menjadikan banyak anak sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan.
Seiring berjalannya waktu, pepatah tersebut mulai dirasa tidak efisien lagi. Hal ini disebabkan oleh biaya kebutuhan hidup yang terus meningkat, terutama dalam segi pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Menurut Ayu (2021), beberapa petani di Maros, Sulawesi Selatan, menghadapi kekhawatiran karena hasil panen yang menurun dan harga jual yang semakin rendah. Mereka khawatir hasil panen tidak akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, menutupi biaya tanam berikutnya, serta melunasi utang yang menumpuk. Meskipun hingga saat ini beberapa daerah di Sulawesi Selatan masih bergantung pada hasil pertanian, namun nyatanya sektor tersebut sudah tidak bisa menghidupi keluarga besar jika dilihat dari harga pasaran hasil pertanian yang menurun drastis.
Namun, seiring berjalannya waktu sebagian masyarakat Sulawesi Selatan mulai menyadari bahwa memiliki banyak anak tanpa kesiapan yang matang dari segi material dapat memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Hal ini sejalan dengan masyarakat yang mulai menerapkan salah satu program pemerintah yaitu program Keluarga Berencana (KB) yang betujuan untuk dapat menurunkan angka kelahiran yang tidak terencana dan meningkatkan kualitas hidup keluarga di Indoneisa. Menurut Badan Pusat Statistik, wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin yang sedang menggunakan dan atau memakai alat KB di Sulawesi Selatan pada tahun 2024 ialah sebanyak 48,02%.
Pola pikir masyarakat harus didorong agar pandangan mereka terhadap stigma tersebut bisa berubah. Salah satu langkah yang bisa diambil ialah dengan melakukan edukasi berbasis fakta. Di mana masyarakat akan diberikan pemahaman bahwa stigma tersebut sudah tidak lagi relevan di masa kini, hal ini dapat dilihat dari jumlah keluarga miskin yang ada di Sulawesi Selatan di mana kebanyakan diantara keluarga tersebut memiliki banyak anak yang sudah tidak dapat dihidupi dengan layak dikarenakan ekonomi keluarganya yang lemah. Masyarakat perlu memahami bahwa memiliki banyak anak bukanlah jaminan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak ataupun lebih baik, melainkan sebaliknya, memiliki banyak anak dapat menjadi dan atau menambah beban keluarga dari segi ekonomi.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan ialah dengan meningkatkan literasi masyarakat mengenai program Keluarga Berencana (KB) yang dirancang oleh pemerintah dan juga mendukung pendidikan di daerah pedesaan. Dengan melibatkan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi lebih mendalam tentang program tersebut dan juga mempermudah akses terhadap alat kontrasepsi.
Alih-alih membesarkan banyak anak tanpa dapat menjamin kesejahteraan mereka, lebih baik orang tua fokus memberikan kehidupan yang baik untuk anak-anak yang sudah ada. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan pendidikan yang lebih layak, asupan gizi yang cukup, dan perhatian penuh dari orang tua. Memiliki sedikit anak dengan kualitas hidup yang terjamin lebih baik dibandingkan dengan memiliki banyak anak namun orang tua tidak dapat menjamin kelayakan hidupnya. Sebab, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berkualitas memiliki peluang yang lebih besar untuk meraih masa depan yang cerah dan membangun keluarga yang lebih sejahtera di generasi mendatang.
Penulis: Mustianti
Referensi:
Ayu, R. S. (2021). Petani Sulsel Dibayangi Produksi Anjlok dan Harga Merosot Menjelang Panen. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/03/19/petani-sulsel-dibayangi-produksi-anjlok-dan-harga-merosot-menjelang-panen
Badan Pusat Statistik. (2024). Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin yang Sedang Menggunakan/Memakai Alat KB. Diambil dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjE4IzI=/persentase-wanita-berumur-15-49-tahun-dan-berstatus-kawin-yang-sedang-menggunakan-memakai-alat-kb.html
Mufasirin, I. (2021). Banyak anak banyak rezeki perspektif perlindungan anak pada masyarakat pinggiran (studi masyarakat dusun mijil desa grogol kecamatan sawoo) (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).
Tenriawaru, A. N., Arsyad, M., Amiruddin, A., Viantika, N. M., & Meilani, N. H. (2021). Analisis dan determinan nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) di Provinsi Sulawesi Selatan. AGRITEXTS: Journal of Agricultural Extension, 45(2), 146.
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Februari: “Antara Keyakinan dan Realitas: Stigma ‘Banyak Anak Banyak Rezeki’ di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan”"