Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, muncul sebuah frasa populer di media sosial: #KaburAjaDulu. Ungkapan ini sering digunakan oleh mereka yang merasa lelah dengan rutinitas, jenuh menghadapi tekanan pekerjaan, atau kecewa dalam hubungan. Sekilas, istilah ini terdengar seperti ajakan untuk melarikan diri — sebuah upaya menghindari kenyataan. Namun, jika direnungkan lebih dalam, apakah kabur selalu berarti lari dari tanggung jawab? Atau mungkinkah, dalam beberapa situasi, kabur justru menjadi ruang untuk bernapas, berpikir, dan menemukan kembali makna hidup?
"Kabur" kerap memiliki konotasi negatif. Seseorang yang tiba-tiba berhenti dari pekerjaannya tanpa pemberitahuan dianggap tidak bertanggung jawab. Mereka yang menghilang dari sebuah hubungan sering dicap pengecut. Intinya, kabur dikaitkan dengan pelarian — cara seseorang menghindari masalah tanpa berusaha menyelesaikannya. Namun, realitasnya tidak selalu sesederhana itu. Ada kalanya seseorang memilih untuk kabur bukan karena takut, tetapi karena mereka butuh jeda. Seorang pekerja yang mengalami burnout mungkin memutuskan untuk mengambil cuti panjang bukan karena malas, melainkan karena ia tahu bertahan dalam kondisi tersebut hanya akan memperburuk kesehatan mentalnya. Seseorang yang rehat dari media sosial bisa jadi melakukannya bukan karena tak ingin berinteraksi, tetapi demi menjaga kewarasannya dari ekspektasi sosial yang membebani.
Keputusan untuk kabur memiliki dua sisi. Di satu sisi, kabur bisa menjadi pelarian sebuah cara untuk menghindari kenyataan dan mengabaikan tanggung jawab. Seseorang yang terus-menerus berpindah pekerjaan karena takut tekanan, atau yang selalu memutus hubungan tanpa komunikasi karena tak mau menghadapi konflik, adalah contoh nyata dari kabur sebagai pelarian. Mereka pergi bukan untuk mencari ketenangan, melainkan untuk lari dari apa yang tak ingin mereka hadapi. Di sisi lain, kabur juga bisa menjadi jeda yang sehat. Ini terjadi ketika seseorang sadar bahwa ia butuh ruang untuk bernapas, memulihkan pikiran, dan menyusun strategi baru. Misalnya, seseorang yang memilih berhenti sejenak dari pekerjaannya untuk mengevaluasi kariernya, atau seseorang yang menjauh dari hubungan toksik agar bisa membangun batasan yang lebih sehat.
Namun, penting untuk memahami bahwa batas antara kabur sebagai pelarian dan kabur sebagai jeda sangat tipis. Keduanya sering kali terlihat serupa di permukaan, tetapi memiliki perbedaan mendasar pada niat dan hasil akhirnya. Kabur sebagai jeda melibatkan refleksi dan rencana. Seseorang yang mengambil jeda biasanya memiliki kesadaran akan masalah yang dihadapi dan menggunakan waktu tersebut untuk memulihkan diri serta mencari solusi. Sementara itu, kabur sebagai pelarian cenderung impulsif dan tanpa arah. Mereka yang kabur untuk lari sering kali tidak memiliki rencana dan hanya berharap masalah akan hilang dengan sendirinya.
Fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan keresahan banyak orang terhadap tekanan hidup yang semakin besar. Dunia modern menawarkan kenyamanan teknologi, tetapi juga membawa ekspektasi tinggi yang membuat banyak orang merasa kewalahan. Media sosial, misalnya, tidak hanya menjadi tempat untuk bersosialisasi, tetapi juga arena kompetisi terselubung di mana setiap orang berlomba-lomba menunjukkan sisi terbaik hidup mereka. Akibatnya, banyak yang merasa hidup mereka tertinggal, gagal, atau tidak cukup baik. Dalam kondisi ini, keinginan untuk kabur menjadi sangat manusiawi. Ada dorongan untuk menghilang, mengambil jeda dari kebisingan, dan menemukan kembali diri sendiri.
Meski begitu, kabur bukanlah jawaban final. Kabur seharusnya bukan akhir dari perjalanan, melainkan bagian dari proses untuk menemukan solusi. Mereka yang memilih untuk kabur perlu memastikan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar pelarian, melainkan langkah sadar untuk memberi waktu bagi diri sendiri agar bisa kembali lebih kuat. Ini berarti kabur harus diikuti oleh refleksi mendalam: apa alasan di balik keinginan untuk pergi? Apa yang ingin dicapai selama jeda itu? Bagaimana rencana untuk kembali dan menghadapi kenyataan?
Penting juga untuk memahami bahwa kabur tidak selalu berarti pergi secara fisik. Seseorang bisa saja tetap berada di tempat yang sama secara fisik, tetapi memilih untuk menarik diri secara emosional atau mental. Kabur bisa berarti mematikan ponsel untuk sementara waktu, menghindari media sosial, atau mengambil jarak dari orang-orang tertentu. Bentuk kabur ini sama validnya dengan bepergian ke tempat jauh, karena intinya bukan soal sejauh apa seseorang pergi, melainkan bagaimana mereka memanfaatkan jarak tersebut untuk memulihkan diri.
Namun, agar kabur tidak menjadi kebiasaan buruk, seseorang harus berkomitmen untuk kembali. Kembali di sini berarti menghadapi kenyataan, menyelesaikan konflik, dan mengambil langkah konkret untuk memperbaiki keadaan. Kabur yang sehat selalu memiliki tujuan akhir, yaitu kembali dengan versi diri yang lebih baik. Mereka yang kabur hanya untuk menghindari masalah tanpa niat untuk kembali berisiko terjebak dalam siklus pelarian yang tak berujung. Hari ini mereka kabur dari pekerjaan, besok mereka kabur dari hubungan, dan seterusnya, hingga mereka kehilangan arah.
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan hanya soal pergi, tetapi soal memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas, berpikir, dan bertumbuh. Ini tentang memahami kapan harus bertahan dan kapan harus memberi diri sendiri waktu untuk menjauh. Yang terpenting, ini adalah soal bagaimana kita kembali — kembali dengan hati yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan semangat yang lebih kuat untuk menghadapi hidup. Sebab, hidup bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang menemukan keseimbangan antara berjuang dan beristirahat. Dan terkadang, untuk benar-benar kuat, kita memang perlu kabur sejenak.
Penulis: Nurfadysa
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Februari: "#KaburAjaDulu: Antara Pelarian dan Ruang untuk Bernafas""