Dalam beberapa tahun terakhir, dunia maya diramaikan oleh tren gaya hidup baru yang dikenal sebagai soft life. Istilah ini merujuk pada cara hidup yang menolak tekanan, memilih kenyamanan, dan menjauh dari hustle culture, budaya kerja keras tanpa henti yang selama ini diagung-agungkan oleh generasi sebelumnya. Fenomena ini paling lekat dengan generasi muda, khususnya Gen Z, yang kini mulai memasuki dunia kerja. Pertanyaannya: apakah ini bentuk kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, atau justru pelarian dari kenyataan ekonomi yang makin sulit?
Gaya hidup soft life menawarkan narasi menarik: kita tidak harus kaya raya, cukup hidup damai, nyaman, dan tidak stres. Banyak konten viral di media sosial menampilkan orang-
orang yang memilih tinggal di desa, kerja secukupnya dari rumah, menolak lembur, dan fokus pada “healing”. Di satu sisi, ini seperti revolusi budaya yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya well-being. Generasi muda tidak ingin hidup seperti orang tua mereka yang
banting tulang, pensiun dalam kelelahan, lalu menyesal tak menikmati hidup.
Namun jika dilihat lebih dalam, gaya hidup soft life juga bisa dibaca sebagai respon pasrah terhadap krisis ekonomi yang berkepanjangan. Harga rumah melambung, biaya pendidikan tinggi, lapangan kerja terbatas, dan gaji yang tidak sebanding dengan inflasi semua ini membuat anak muda merasa mustahil mencapai standar kesuksesan konvensional. Alih-alih berjuang mati-matian mengejar cita-cita material yang kian jauh, mereka memilih untuk menurunkan ekspektasi hidup. Soft life menjadi pelarian dari realita bahwa ekonomi tidak berpihak pada mereka.
Ironisnya, soft life justru menjadi tren di tengah ketimpangan sosial-ekonomi yang makin lebar. Tidak semua orang punya privilese untuk “beristirahat”. Banyak Gen Z lain yang justru terjebak dalam pekerjaan serabutan, terpaksa kerja 2–3 job sekaligus hanya untuk bertahan hidup, bahkan merasa bersalah jika tidak produktif. Dalam konteks ini, soft life bisa jadi hanya dinikmati oleh segelintir anak muda yang memiliki modal, akses, dan dukungan finansial dari keluarga.
Di balik gaya hidup ini, tersembunyi sebuah kegelisahan kolektif: generasi muda kehilangan harapan akan masa depan. Ketika pendidikan tinggi tidak menjamin pekerjaan, ketika bekerja keras pun tak cukup untuk membeli rumah atau menabung, maka yang tersisa hanyalah pilihan untuk “hidup nyaman saja, sebisanya”. Fenomena ini mestinya jadi alarm sosial. Bukan untuk menghakimi pilihan hidup generasi muda, tetapi untuk menyadari bahwa sistem ekonomi hari ini sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah dan pemangku kebijakan harus mengevaluasi ulang arah pembangunan ekonomi, khususnya soal ketenagakerjaan, akses rumah terjangkau, dan jaminan sosial. Karena ketika generasi muda sudah tidak lagi percaya pada mobilitas sosial, maka yang runtuh bukan hanya semangat kerja, tapi juga harapan masa depan bangsa.
Fenomena soft life di kalangan Gen Z sejatinya bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi refleksi dari kondisi sosial ekonomi yang semakin menekan. Di tengah ketidakpastian masa depan, keterbatasan akses ekonomi, dan realita pasar kerja yang penuh persaingan, pilihan untuk menjalani hidup yang tenang dan cukup menjadi bentuk adaptasi yang rasional. Oleh karena itu, alih-alih melihat soft life sebagai bentuk kemalasan atau apatisme, kita perlu menafsirkannya sebagai sinyal penting: bahwa generasi muda membutuhkan sistem yang lebih adil, kesempatan yang lebih terbuka, serta dukungan struktural agar mereka dapat membangun masa depan tanpa harus memilih antara kesehatan mental dan kelangsungan hidup. Perubahan gaya hidup ini adalah cermin, dan sudah saatnya kita menatapnya bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memperbaiki arah kebijakan sosial ekonomi ke depan.
Penulis: Andi Fazlur Rahman Ali
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Juli: "Fenomena Gen Z dan Gaya Hidup “Soft Life”: Realitas atau Pelarian Ekonomi?""