Essai Bulan Juli: "15 Detik, 1 Peluang"

Bayangkan sebuah dunia di mana hanya dengan video 15 detik dapat mengguncang algoritma global dan mengubah itu menjadi penghasilan nyata. Tanpa kantor, tanpa pangkat formal, konten semata mampu membentuk lapangan kerja baru. Inilah inti dari TikTokonomics, ekosistem ekonomi digital tempat kreativitas bertemu untuk menghasilkan nilai tanpa batas ruang maupun latar fisik. TikTok, sebagai aplikasi berbasis video singkat, telah mengalami transformasi luar biasa dari yang semula hanya dianggap sebagai media hiburan semata, menjadi sarana distribusi ekonomi digital yang kuat. Melalui berbagai fitur seperti TikTok Shop, siaran langsung (live stream), tautan afiliasi, hingga iklan sponsor, platform ini tidak hanya menjadi tempat berkarya, tetapi juga menjadi ladang penghasilan bagi jutaan penggunanya. Diindonesia sendiri, aplikasi tiktok telah marak digunakan mulai dari kalangan anak anak hingga dewasa. Berdasarkan jurnal Azizah (2021) dikatakan bahwa indonesia merupakan salah satu pangsa pasar aplikasi Tiktok dengan jumlah pengguna aktif tertinggi kedua dengan pengguna aktif bulanan lebih dari 22 Juta. Angka ini terus meningkat seiring berkembangnya berbagai fitur canggih yang di tawarkan dalam platform, Hal ini menjadikan TikTok bukan hanya sebagai ruang hiburan, tetapi juga sebagai media produktif yang mengubah pola konsumsi, strategi pemasaran, hingga menciptakan lapangan kerja baru di berbagai sektor. Seseorang tidak perlu memiliki modal besar atau latar belakang pendidikan tertentu untuk terlibat dalam arus ekonomi ini. Yang dibutuhkan hanyalah Smartphone, koneksi internet, dan ide yang mampu menarik perhatian audiens.

Salah satu contoh nyata dari keberhasilan dalam ekosistem ini adalah akun @makmaramadhani0002, yang berawal dari video sederhana seputar storytelling, masakan rumahan, dan jualan sedehana tetapi dikemas dengan gaya penyampaian yang lucu, khas, dan konsisten. Tanpa latar belakang artis atau modal produksi besar, konten tersebut menarik jutaan penonton dan menjadi pembuka jalan bagi pemasaran produk “Sambal Senggol Dong”. Konten yang awalnya hanya dimaksudkan untuk hiburan berubah menjadi mesin penggerak bisnis. Dengan memanfaatkan interaksi audiens dan daya tarik karakter “Senggol Dong” yang unik, pemilik akun berhasil membangun ekosistem digital yang memadukan edukasi, promosi, dan hiburan dalam satu narasi yang menarik. Fenomena TikTokonomics ini menandai pergeseran struktur modal. Dalam ekonomi konvensional, penguasaan terhadap aset fisik menjadi faktor dominan. Namun, dalam ekonomi digital, modal yang paling berharga adalah kreativitas, konsistensi, dan pemahaman terhadap perilaku audiens. Siapa pun dapat menjadi produsen sekaligus distributor. Video dengan durasi pendek dapat menjangkau jutaan orang dalam waktu singkat, melampaui batas geografis maupun status sosial. Peran algoritma dalam mendistribusikan konten secara acak dan meritokratis turut berkontribusi dalam menciptakan peluang yang relatif inklusif.

Selain itu, TikTok telah menjadi pendorong signifikan bagi pengembangan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berdasarkan penelitian oleh Muhammad Agha Afkar dan Yusmaneli (2023) memberikan sebuah hasil penelitian bahwa sebagian besar masyarakat khususnya konsumen memberikan tanggapan positif atas kehadiran dari TikTok Shop karena mempermudah dalam hal mencari produk yang diinginkan. Sebaliknyabagi pelaku usaha memberikan tanggapan positif karena dengan keberadaan TikTok Shop dapat mempermudah pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha secara efisien. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah tidak memerlukan modal yang relatif besar untuk dapatmemulai bisnis (Jannah). Melalui konten yang menarik dan mudah dibagikan, pelaku UMKM dapat memperluas jangkauan pasarnya secara drastis. Dalam konteks ini, “Sambal Senggol Dong” juga merepresentasikan bentuk baru kewirausahaan berbasis komunitas digital. Lewat pendekatan narasi ringan dan bersahabat, pemilik akun tidak hanya menjual produk, tetapi membangun loyalitas audiens yang secara tidak langsung memperkuat ekosistem bisnisnya.

Namun demikian, perkembangan ini tidak lepas dari tantangan dan dampak sosial yang perlu diantisipasi secara serius. Pertama, tidak semua individu memiliki akses merata terhadap perangkat digital dan jaringan internet yang stabil. Ketimpangan digital ini menciptakan kesenjangan dalam peluang ekonomi. Daerah-daerah tertinggal dan masyarakat dengan keterbatasan akses teknologi menjadi semakin tertinggal dalam menikmati manfaat ekonomi digital. Kedua, tekanan psikologis akibat persaingan di dunia konten digital juga menjadi perhatian. Algoritma TikTok yang menuntut konsistensi dan keberhasilan viral menimbulkan beban mental bagi para kreator. Rasa takut kehilangan relevansi, kecanduan terhadap validasi publik, dan tekanan untuk terus menghadirkan konten baru kerap menimbulkan gangguan kesehatan mental. Hal ini menjadi ironi ketika ekonomi berbasis kreativitas justru mengekang kebebasan emosional individu karena tekanan algoritmik yang tinggi. Ketiga, absennya regulasi yang tegas dalam mengatur aliran pendapatan digital menciptakan ruang abu-abu, baik dari segi perpajakan, perlindungan data, maupun etika penyebaran konten. Banyak pelaku ekonomi digital yang belum tersentuh regulasi formal, sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan sosial dalam jangka panjang. Negara perlu hadir tidak hanya sebagai fasilitator digitalisasi, tetapi juga sebagai pengatur yang memastikan keadilan dan keamanan dalam ruang digital.

Dalam konteks pendidikan, sistem pembelajaran juga perlu beradaptasi dengan dinamika ekonomi baru ini. Generasi muda harus dibekali tidak hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga literasi digital, etika bermedia, dan pemahaman terhadap struktur ekonomi digital yang kompleks. Dengan begitu, mereka dapat menjadi pelaku ekonomi yang tidak hanya produktif, tetapi juga bertanggung jawab. Dari sudut pandang ekonomi makro, TikTokonomics mencerminkan transformasi menuju masyarakat pasca industri, di mana nilai diciptakan melalui simbol, tanda, dan pengalaman—bukan semata-mata barang fisik. TikTok tidak hanya membentuk ruang budaya baru, tetapi juga mendisrupsi struktur ekonomi tradisional. Dunia kerja telah mengalami pergeseran: tidak lagi bergantung pada ruang kantor, tetapi pada kemampuan individu menciptakan narasi yang menggerakkan publik. Dalam konteks ini, pekerjaan bukan hanya soal fungsi, tetapi juga soal identitas dan relasi sosial.

Sebagai kesimpulan, TikTokonomics merupakan gejala ekonomi kontemporer yang tidak dapat diabaikan. Hal ini menciptakan peluang yang luas, terutama bagi generasi muda, untuk berpartisipasi dalam ekonomi global melalui jalur non-konvensional. Akan tetapi, perkembangan ini harus diimbangi dengan penguatan regulasi, pemerataan infrastruktur digital, serta literasi yang memadai agar transformasi ekonomi ini tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Di tengah dunia yang terus berubah, adaptasi menjadi keharusan, dan TikTok telah membuktikan bahwa revolusi ekonomi bisa dimulai dari hal-hal yang tampak sederhana selama dipadukan dengan kreativitas dan keberanian untuk tampil berbeda.

Penulis: Wawan Andi Saputra

Daftar Pustaka:

Azizah, L., Gunawan, J., & Sinansari, P. (2021). Pengaruh pemasaran media sosial TikTok terhadap kesadaran merek dan minat beli produk kosmetik di Indonesia. Jurnal Teknik ITS, 10(2), A438-A443.

Jannah, S. N., & Pramono, P. (2024). Analisis Pengembangan Umkm Melalui E-Bussines Dengan TikTok Shop. Jurnal Kajian Dan Penalaran Ilmu Manajemen, 2(2), 25-36.

Posting Komentar untuk "Essai Bulan Juli: "15 Detik, 1 Peluang""