Essai Bulan Juli: "Mencari Keadilan atau Memicu Kekacauan?"

Pada Sore hari kemarin, sejumlah kampus ternama di Makassar yakni Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), dan Universitas Muslim Indonesia (UMI), dilanda kericuhan yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa dan civitas akademika. Kejadian ini dipicu oleh kedatangan segerombolan orang yang tidak diketahui secara pasti asal-usulnya, yang diduga sedang mencari seseorang dari kalangan warga Luwu, atau lebih khusus lagi, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPMIL (Ikatan Pelajar Mahasiswa Luwu).

Kronologi awal menyebutkan bahwa insiden bermula dari kabar penikaman terhadap seorang individu yang diyakini sebagai teman atau kerabat dari kelompok penyerbu. Meski identitas pelaku penikaman belum dipastikan, hal ini tidak menghentikan kelompok tersebut untuk melakukan tindakan balasan. Mereka menyusuri area-area kampus dengan tujuan mencari pelaku atau pihak yang dianggap terlibat, khususnya mahasiswa yang memiliki keterkaitan dengan IPMIL atau berasal dari daerah Luwu.

Tanpa koordinasi dengan pihak berwenang, gerombolan ini masuk secara paksa ke lingkungan kampus, memicu keresahan di sejumlah titik, dan bahkan merusak berbagai fasilitas kampus. Tindakan anarkis tersebut menyebabkan kepanikan di kalangan mahasiswa, dosen, serta tenaga kependidikan, dan turut mencoreng nama baik institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman dan damai untuk belajar serta berdiskusi.
Selain dampak fisik dan psikologis, insiden ini juga menyisakan luka sosial. Narasi-narasi yang mengarah pada prasangka terhadap kelompok atau daerah tertentu mulai muncul di media sosial. Ini sangat berbahaya dan bisa memicu konflik yang lebih luas. Stop rasisme, stop kekerasan berbasis identitas daerah—kampus bukan tempat untuk mempertajam sekat kesukuan, melainkan ruang untuk menyatukan perbedaan dalam semangat toleransi dan kemanusiaan.

Salah satu faktor yang memperparah situasi adalah tidak jelasnya identitas kelompok yang menyerbu kampus. Hingga kini belum diketahui secara pasti siapa mereka, dari mana mereka berasal, serta apakah benar-benar merupakan pihak yang berkepentingan langsung dengan korban penikaman. Dugaan bahwa mereka adalah kerabat atau teman korban belum dapat dikonfirmasi, dan justru tindakan mereka memunculkan lebih banyak pertanyaan dan keresahan. 

Kejadian ini mencerminkan betapa rentannya keamanan di lingkungan pendidikan tinggi jika tidak ada sinergi antara pihak kampus, aparat keamanan, dan masyarakat sekitar. Penting untuk segera dilakukan investigasi menyeluruh terhadap insiden penikaman, mengungkap identitas pelaku secara sah, serta menangani pihak-pihak yang telah melakukan aksi kekerasan dan perusakan di area kampus.

Pihak kampus juga perlu memperkuat edukasi soal keberagaman dan resolusi konflik tanpa kekerasan. Organisasi kedaerahan seperti IPMIL seharusnya menjadi wadah pembinaan, bukan sasaran stereotip atau stigma negatif. Dalam situasi seperti ini, semua pihak perlu menahan diri dari sikap diskriminatif yang hanya akan memperparah keadaan.

Kericuhan yang terjadi di UNM, Unismuh, dan UMI tidak hanya merusak fasilitas fisik, namun juga mencederai semangat pendidikan dan perdamaian yang seharusnya dijunjung tinggi oleh semua pihak. Meskipun dorongan emosional akibat peristiwa penikaman bisa dimaklumi, tindakan balas dendam yang tidak berdasar justru menciptakan konflik baru yang merugikan banyak pihak. Sudah saatnya semua elemen—mahasiswa, kampus, aparat, dan masyarakat—bersatu menjaga kampus sebagai zona damai, serta menyelesaikan setiap konflik melalui jalur hukum dan musyawarah, bukan kekerasan.

Hentikan kekerasan, hentikan diskriminasi—karena identitas daerah bukan alasan untuk membenci.

Penulis: Ummul Qura

Posting Komentar untuk "Essai Bulan Juli: "Mencari Keadilan atau Memicu Kekacauan?""