Essai Bulan Agustus: "Ketika Generasi Muda Memilih #KaburAjaDulu"

Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan dengan munculnya tagar #KaburAjaDulu. Tagar ini viral di kalangan anak muda Indonesia, khususnya Gen Z, yang merasa masa depan di tanah air semakin tidak menentu. Melalui meme, cuitan, dan unggahan video, mereka menyuarakan satu keinginan sederhana yaitu pergi meninggalkan negeri, setidaknya untuk mencari kehidupan yang dianggap lebih layak di luar negeri. Fenomena ini bukan sekadar lelucon internet, tetapi cerminan kegelisahan generasi muda terhadap realitas sosial, politik, dan ekonomi yang mereka hadapi sehari-hari.

Pertama, alasan utama di balik tren ini adalah minimnya peluang kerja yang memadai. Indonesia memang memiliki bonus demografi, dengan jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Namun, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi yang akhirnya harus bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, atau bahkan menganggur dalam waktu lama. Akibatnya, muncul rasa frustasi dan ketidakpuasan yang kemudian dituangkan dalam ekspresi digital seperti #KaburAjaDulu.

Kedua, fenomena ini juga terkait erat dengan ketidakpercayaan pada pemerintah dan elite politik. Anak muda menyaksikan berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, misalnya kenaikan pajak, inflasi harga kebutuhan pokok, hingga kebijakan tunjangan yang menguntungkan pejabat. Di sisi lain, isu korupsi, kolusi, dan nepotisme masih sering muncul. Generasi muda yang melek informasi mudah menangkap ketidakadilan ini, sehingga mereka merasa negara tidak benar-benar peduli pada masa depan mereka.

Ketiga, budaya digital memperkuat narasi #KaburAjaDulu. Internet membuat anak muda lebih mudah membandingkan kehidupan di negara lain dengan kondisi di Indonesia. Mereka melihat peluang beasiswa, gaji yang lebih tinggi, atau lingkungan kerja yang lebih profesional di luar negeri. Walaupun realitasnya tentu tidak semudah yang terlihat di layar, persepsi ini menambah kuat keyakinan bahwa pergi meninggalkan Indonesia adalah jalan keluar terbaik.

Meski demikian, fenomena ini tidak bisa hanya dipandang negatif. Ada sisi positif yang dapat diambil. Tren #KaburAjaDulu menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia sebenarnya memiliki aspirasi yang tinggi. Mereka ingin berkembang, ingin diakui, dan ingin meraih masa depan yang lebih baik. Semangat ini harusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem, bukan malah menutup mata.

Solusi yang diperlukan bukan sekadar retorika, melainkan tindakan nyata. Pemerintah perlu menyediakan lapangan kerja yang layak, memperbaiki sistem pendidikan agar relevan dengan kebutuhan industri, dan memastikan kebijakan publik transparan serta adil. Selain itu, ruang partisipasi bagi anak muda juga harus diperluas, sehingga mereka merasa suaranya dihargai dan didengar. Dengan begitu, harapan untuk membangun negeri bisa tumbuh kembali, dan tagar #KaburAjaDulu tidak lagi menjadi pilihan yang populer.

Pada akhirnya, fenomena #KaburAjaDulu adalah cermin keresahan generasi muda yang tidak boleh diabaikan. Ia bukan sekadar tren media sosial, melainkan alarm keras tentang masalah struktural yang sedang dihadapi bangsa ini. Alih-alih marah pada mereka yang ingin "kabur," yang lebih penting adalah menciptakan Indonesia yang bisa membuat anak muda betah tinggal, berkarya, dan membangun masa depan di tanah airnya sendiri.

Penulis: Nur Aeny Syahrir

Posting Komentar untuk "Essai Bulan Agustus: "Ketika Generasi Muda Memilih #KaburAjaDulu""