Essai Bulan September: "Dari Pelosok ke Ruang Digital: Mampukah EduSHE Menjadi Jawaban bagi Perempuan Muda?"

Pernikahan dini masih menjadi persoalan serius di Indonesia, terutama di daerah pelosok yang minim akses pendidikan dan layanan kesehatan. Data BPS per Maret 2025 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dalam jumlah perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun, dengan total 25,53 juta perempuan. Angka ini menempatkan Indonesia setelah India (51,2%), Bangladesh (9,8%), dan China (8,4%) (BPS, 2025). Secara nasional, pernikahan dini bukanlah fenomena sporadis, melainkan masalah struktural yang berkaitan erat dengan budaya, keterbatasan akses pendidikan, dan rendahnya literasi kesehatan reproduksi. Kondisi ini diperkuat oleh catatan 756 permohonan dispensasi nikah yang masuk ke pengadilan agama sepanjang Januari hingga Oktober 2024, dengan 556 di antaranya dikabulkan. Selain itu, hingga Juli 2024 tercatat 2.989 kasus kehamilan pada anak di bawah usia 18 tahun (DP3A Sulsel, 2024). Laporan dari Rakyat Sulsel juga menyebutkan bahwa faktor budaya dan pergaulan bebas menjadi penyumbang terbesar kasus pernikahan dini di Sulawesi Selatan (Rakyat Sulsel, 2024). Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa pernikahan dini dipengaruhi oleh berbagai faktor multidimensional dan membutuhkan intervensi yang komprehensif.

Gerakan EduSHE (Education for Sustainability, Health, and Equality) hadir sebagai bentuk intervensi berbasis relawan yang menyasar langsung daerah pelosok. Program ini tidak hanya membawa misi edukasi, tetapi juga mengusung keberlanjutan dengan memanfaatkan aset lokal dan memperkuat jejaring kerja sama. EduSHE menekankan pentingnya menyatukan upaya penelitian, edukasi lapangan, dan advokasi digital agar persoalan pernikahan dini dapat ditangani secara lebih menyeluruh. Relawan diterjunkan ke desa-desa pelosok untuk menyatu dengan masyarakat. Edukasi dilakukan secara door-to-door, sehingga keluarga dan remaja mendapat informasi yang relevan dan mudah dipahami mengenai risiko kesehatan reproduksi, dampak psikologis, serta konsekuensi hukum dari pernikahan dini. Pendekatan ini dinilai lebih efektif dibandingkan penyuluhan massal karena membuka ruang dialog personal yang lebih intim.Selain pendekatan keluarga, EduSHE juga mengembangkan diskusi komunitas di sekolah atau balai desa yang melibatkan remaja, orang tua, dan tokoh masyarakat. Relawan berperan sebagai fasilitator yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya pendidikan dan penundaan usia perkawinan. Hasil dari interaksi lapangan kemudian diolah menjadi konten digital berupa infografis, video singkat, dan storytelling, yang dipublikasikan melalui Instagram dan TikTok agar menjangkau audiens yang lebih luas.

Keberlanjutan program dapat dijaga melalui dukungan finansial yang diperoleh dari kerja sama dengan universitas, NGO, pemerintah desa, serta sponsorship perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Skema pendanaan ini memungkinkan EduSHE memiliki sumber daya untuk mendukung kegiatan lapangan, produksi konten digital, dan pembentukan kelompok remaja desa sebagai agen perubahan lokal. Dengan cara ini, keberlangsungan program tidak hanya bergantung pada relawan, tetapi juga pada aktor lokal yang telah dibekali kapasitas. Dengan basis data yang jelas serta strategi implementasi yang berkelanjutan, EduSHE menunjukkan bahwa intervensi berbasis relawan dapat menjadi model efektif dalam menekan angka pernikahan dini di Indonesia. Kombinasi antara riset, edukasi lapangan, advokasi digital, serta dukungan multi-pihak menjadikan program ini tidak hanya responsif, tetapi juga berorientasi jangka panjang.

Penulis: Kardilla

Posting Komentar untuk "Essai Bulan September: "Dari Pelosok ke Ruang Digital: Mampukah EduSHE Menjadi Jawaban bagi Perempuan Muda?""