Dalam beberapa waktu terakhir, industri furnitur Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yang mengancam stabilitas dan keberlanjutan sektor ini. Sorotan utama tertuju pada rencana penerapan tarif impor dari Amerika Serikat terhadap produk-produk berbasis kayu, termasuk furnitur, yang secara langsung mempengaruhi pelaku industri dalam negeri, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun kabar mengenai tarif ini masih simpang siur, dampaknya sudah mulai terasa dalam bentuk keresahan dan ketidakpastian di kalangan eksportir furnitur.
Isu ini bermula ketika pemerintah Amerika Serikat, melalui kebijakan tarif resiprokal, berencana menerapkan bea masuk sebesar 25% hingga 47% terhadap produk berbahan dasar kayu dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Meski Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa furnitur Indonesia tidak termasuk dalam daftar barang yang terkena tarif tambahan 32%, informasi dari berbagai sumber menunjukkan adanya kemungkinan bahwa produk furnitur kayu Indonesia tetap berisiko terkena tarif tinggi berdasarkan kategori dan klasifikasi produknya. Ketidakkonsistenan informasi inilah yang memperkeruh suasana dan menimbulkan ketidakpastian di tengah para pelaku usaha.
Amerika Serikat merupakan salah satu pasar utama ekspor furnitur Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi AS terhadap total ekspor furnitur nasional sangat signifikan. Indonesia tercatat sebagai pemasok furniture dan kerajinan nomor 19 dunia, dengan nilai ekspor furniture dan kerajinan periode Januari-November 2024 mencapai USD 2,22 miliar atau setara Rp 36 triliun (1 USD = Rp 16.242) (Kementerian Perdagangan RI, 2025). Khusus ke pasar AS, nilai ekspor furnitur Indonesia tercatat mencapai sekitar USD 951,8 juta pada tahun 2023 dan diperkirakan meningkat menjadi USD 1,43 miliar pada tahun 2024 (Reportase9.id, 2024). Pasar AS menyumbang sekitar 60% dari total ekspor furnitur nasional, menjadikannya sangat vital bagi kelangsungan industri furnitur Indonesia.
Namun, kebijakan tarif impor AS sebesar 32% menjadi ancaman nyata bagi pelaku usaha, terutama UMKM. UMKM sendiri menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional (Kementerian Koperasi dan UKM, 2024). Dampak dari kenaikan tarif ini diprediksi dapat mengurangi margin keuntungan UMKM, meningkatkan biaya produksi, bahkan berpotensi menurunkan produksi dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (Dialeksis.com, 2024). Seperti ditegaskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), “Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia dan sejumlah negara ASEAN dinilai berpotensi mengganggu iklim persaingan usaha nasional dan melemahkan daya saing sektor UMKM” (Dialeksis.com, 2024).
Furnitur Indonesia memiliki kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Kualitas bahan baku yang tinggi, desain yang khas dan artistik, serta nilai budaya lokal yang terkandung di dalam setiap produk menjadikan furnitur Indonesia memiliki daya tarik tersendiri di pasar global. Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya didukung oleh sistem ekspor yang efisien dan perlindungan kebijakan yang kuat. Tantangan seperti keterbatasan modal, minimnya akses terhadap teknologi, dan birokrasi ekspor yang kompleks kerap menjadi penghambat.
Dalam merespons dinamika ini, pemerintah Indonesia mulai melakukan langkah-langkah diplomasi ekonomi. Negosiasi bilateral dengan pemerintah Amerika Serikat telah dimulai, dengan fokus utama menekan penerapan tarif impor terhadap produk-produk unggulan Indonesia, termasuk furnitur. Sebagai strategi tawar-menawar, Indonesia menawarkan peningkatan impor sejumlah komoditas dari Amerika seperti LPG, kedelai, dan gandum. Diplomasi ini juga mencakup kerja sama di bidang lain, seperti investasi, pengembangan ekonomi digital, dan pengelolaan sumber daya strategis. Namun, proses negosiasi ini tidak mudah. Pemerintah AS mengkritik beberapa regulasi dalam negeri Indonesia, seperti kebijakan sertifikasi halal dan pembatasan impor barang tertentu, yang dianggap menghambat masuknya produk mereka ke pasar Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, respons reaktif saja tidak cukup. Indonesia perlu mengembangkan strategi jangka panjang yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan lanskap perdagangan global. Salah satu solusi inovatif yang kini mulai digagas adalah konsep Diplomasi Dagang Digital Nusantara, sebuah inisiatif yang menggabungkan pendekatan diplomatik, teknologi digital, dan pemberdayaan UMKM. Diplomasi Dagang Digital Nusantara bukan sekadar marketplace daring biasa. Ini adalah platform digital berbasis negara yang dirancang untuk menjadi representasi dagang Indonesia di pasar global. Berbeda dengan platform e-commerce konvensional seperti Shopee atau Tokopedia yang bersifat privat dan profit-oriented, Diplomasi Dagang Digital Nusantara akan dikelola oleh negara sebagai perpanjangan tangan diplomasi ekonomi. Platform ini mengintegrasikan teknologi blockchain untuk transparansi transaksi, representasi avatar digital berbasis AI untuk menghadirkan narasi produk secara interaktif, dan kurasi produk berbasis kualitas dan budaya lokal.
Keunggulan utama dari platform ini adalah kemampuannya menghapus hambatan ekspor konvensional seperti biaya logistik tinggi, birokrasi, dan keterbatasan jaringan pemasaran. Dengan pendekatan digital, UMKM di berbagai daerah—dari Jepara, Cirebon, hingga Bali—dapat langsung menjangkau konsumen luar negeri tanpa harus melewati prosedur rumit ekspor. Selain itu, narasi produk yang kuat, yang mengangkat nilai budaya, proses produksi ramah lingkungan, dan pemberdayaan lokal, akan meningkatkan daya saing furnitur Indonesia di pasar global. Namun, keberhasilan inisiatif ini bergantung pada tiga hal mendasar. Pertama, infrastruktur digital yang memadai. Pemerintah harus memastikan bahwa wilayah-wilayah penghasil furnitur memiliki akses terhadap internet cepat dan stabil. Investasi dalam infrastruktur ini menjadi prioritas agar tidak ada daerah yang tertinggal dari transformasi digital. Kedua, penguatan kapasitas pelaku UMKM. Melalui pelatihan, workshop, dan pendampingan intensif, para pengrajin dan pelaku usaha perlu dibekali pengetahuan tentang pemasaran digital, manajemen produk, hingga standar kualitas internasional. Ketiga, perlindungan kekayaan intelektual dan branding nasional. Produk Indonesia harus memiliki identitas dan keunikan yang dilindungi secara hukum agar tidak mudah ditiru oleh negara lain.
Diplomasi Dagang Digital Nusantara juga dapat dikembangkan sebagai "kedutaan besar digital" yang aktif mempromosikan produk Indonesia di pasar-pasar non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur, hingga Amerika Latin. Dengan sistem ini, promosi tidak hanya bergantung pada pameran fisik atau misi dagang yang mahal dan terbatas, tetapi juga dilakukan secara kontinu dan adaptif melalui teknologi. Melalui pendekatan ini, Indonesia tidak hanya memperluas pasar, tetapi juga membangun citra global sebagai negara kreatif, adaptif, dan berdaulat dalam perdagangan digital. Selain pendekatan digital, penting pula untuk merevitalisasi kebijakan industri nasional. Pemerintah harus memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi pelaku industri furnitur, seperti pembebasan pajak untuk eksportir UMKM, kemudahan kredit usaha, serta penyederhanaan regulasi ekspor. Di sisi lain, sinergi antar kementerian—Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi dan UKM—perlu diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih atau inefisiensi kebijakan.
Kolaborasi dengan sektor pendidikan dan riset juga tidak kalah penting. Universitas dan lembaga penelitian dapat dilibatkan dalam merancang desain furnitur yang inovatif dan ramah lingkungan, mengembangkan teknologi produksi yang efisien, serta membangun sistem logistik pintar untuk mendukung ekspor. Dalam jangka panjang, pendekatan berbasis riset dan inovasi ini akan memperkuat daya saing produk furnitur Indonesia secara berkelanjutan. Isu tarif impor dari Amerika Serikat terhadap produk furnitur Indonesia bukan hanya sebuah persoalan perdagangan biasa. Ini adalah momentum bagi Indonesia untuk melakukan pembenahan mendasar pada ekosistem industri furnitur nasional. Masalah ini menyangkut kedaulatan ekonomi dan masa depan jutaan pelaku UMKM yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Jika tidak diantisipasi dengan baik, dampaknya akan menjalar ke sektor lain dan berpotensi melemahkan ekonomi domestik secara keseluruhan.
Dalam era persaingan global yang semakin ketat dan penuh ketidakpastian, Indonesia harus memanfaatkan setiap peluang untuk beradaptasi dan berinovasi. Diplomasi Dagang Digital Nusantara yang diusung sebagai solusi inovatif bukan hanya sekadar alat untuk menghadapi tarif impor, tetapi juga sebagai pintu gerbang masa depan perdagangan digital nasional. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan, industri furnitur Indonesia dapat bertransformasi menjadi sektor yang tangguh, berdaya saing tinggi, dan memberikan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan. Kursi dan meja buatan tangan anak bangsa bukan sekadar produk ekspor yang berlalu begitu saja. Mereka adalah representasi budaya, karya seni, dan kebanggaan nasional. Jika dikelola dengan visi yang jauh ke depan, industri furnitur Indonesia tidak hanya akan bertahan dari guncangan tarif, tetapi juga mampu melesat menjadi kekuatan ekonomi baru yang membanggakan di era globalisasi digital yang semakin maju.
REFERENSI:
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2025, Januari 23). Ekspor furnitur dan kerajinan RI capai Rp 36 triliun, terbanyak ke 5 negara ini. Liputan6.com. https://www.liputan6.com
Reportase9.id. (2024). Mendag lepas ekspor furnitur produksi Indonesia ke Amerika Serikat. https://www.reportase9.id
Bisnis.com. (2025). 60% ekspor furnitur RI ke AS, bagaimana nasib industri jelang tarif Trump berlaku? https://ekonomi.bisnis.com
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. (2024). Data dan Statistik UMKM Indonesia. https://kemenkopukm.go.id
Dialeksis.com. (2024). Kebijakan tarif impor AS 32% ancam daya saing UMKM Indonesia. https://www.dialeksis.com
Penulis: Nur Hilda Ayu
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Mei: "BUKAN SEKADAR KURSI: KETIKA TARIF AS MENGGOYANG INDUSTRI FURNITUR NUSANTARA""