Essai Bulan Mei: "Dari Dompet ke Digital: Refleksi Kritis atas Ambisi Indonesia Mewujudkan Cashless Society di Tengah Kesenjangan Akses dan Literasi"

Transformasi digital telah membawa dampak signifikan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sistem pembayaran. Indonesia sebagai negara berkembang tengah mendorong masyarakat menuju cashless society melalui kebijakan dan inovasi seperti QRIS, e-wallet, dan mobile banking. Pemerintah dan sektor perbankan meyakini bahwa sistem pembayaran nontunai dapat mempercepat inklusi keuangan serta meningkatkan efisiensi transaksi. Namun, perubahan ini tidak sepenuhnya berjalan mulus karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses memadai terhadap teknologi digital. Ketimpangan infrastruktur dan rendahnya literasi digital menjadi penghalang utama bagi masyarakat di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah Indonesia benar-benar siap menjadi masyarakat tanpa uang tunai?

Manfaat yang ditawarkan oleh cashless society memang sangat menjanjikan, mulai dari kemudahan transaksi hingga transparansi keuangan. Studi Wasilah et al. (2023) menunjukkan bahwa sistem pembayaran digital telah membantu pelaku UMKM menjangkau pasar yang lebih luas dan efisien. Namun, Jagaddhita dan Kusuma (2024) menyoroti bahwa kekhawatiran terhadap keamanan data dan rendahnya pemahaman teknologi masih menjadi penghambat adopsi e-money. Banyak masyarakat merasa asing dengan sistem digital dan lebih nyaman menggunakan uang tunai yang dianggap lebih nyata dan mudah dikontrol. Di sisi lain, pelaku kejahatan siber terus berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi finansial. Tanpa edukasi yang memadai, risiko penyalahgunaan data dan penipuan digital bisa meningkat secara signifikan.

Kesenjangan akses terhadap teknologi dan literasi digital menimbulkan ketimpangan yang semakin tajam di masyarakat. Pratiwi dan Saefullah (2023) menemukan bahwa rendahnya pemahaman tentang penggunaan teknologi finansial menyebabkan masyarakat rentan terhadap praktik konsumtif yang tidak sehat. Selain itu, kelompok rentan seperti lansia, petani, dan pekerja informal sering kali terpinggirkan karena sistem cashless tidak mempertimbangkan keterbatasan mereka. Rachmatika et al. (2023) juga menekankan bahwa kebijakan cashless harus disertai dengan peningkatan literasi keuangan agar tidak menciptakan eksklusi finansial baru. Tanpa kesiapan yang merata, digitalisasi hanya akan menguntungkan kelompok yang sudah melek teknologi. Hal ini justru bisa memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.

Dampak sosial dari pergeseran ke masyarakat nontunai juga tidak dapat diabaikan. Artikel di Wall Street Journal (2024) menceritakan bagaimana “pak ogah” di Jakarta kehilangan penghasilan karena masyarakat tidak lagi membawa uang tunai kecil untuk memberi tip. Fenomena ini menggambarkan bahwa sistem cashless dapat menghapus peran-peran informal yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem ekonomi mikro. Selain itu, Mauladi et al. (2022) menyoroti potensi meningkatnya kejahatan siber yang mengincar data dan dana masyarakat pengguna e-wallet dan mobile banking. Tanpa regulasi yang kuat dan perlindungan data yang optimal, sistem ini dapat menjadi celah baru bagi kriminalitas digital. Maka dari itu, transisi menuju cashless society tidak bisa sekadar mengejar tren tanpa mempertimbangkan dampak sosiologis yang muncul. Pembangunan teknologi harus berjalan seiring dengan pembangunan manusia.

Untuk mewujudkan cashless society yang benar-benar inklusif, diperlukan strategi yang menyeluruh dari berbagai pihak. Nurdin et al. (2023) menyarankan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam membangun infrastruktur digital yang merata dan memperkuat edukasi literasi keuangan. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan cashless tidak hanya berpihak pada kelompok urban yang sudah melek teknologi. Priambodo et al. (2024) juga menggarisbawahi pentingnya persepsi keamanan dan kemudahan teknologi dalam membentuk penerimaan masyarakat terhadap sistem pembayaran digital. Program literasi digital yang menyasar komunitas pedesaan dan kelompok rentan harus digalakkan secara berkelanjutan. Tanpa pendekatan yang humanistik, cashless society hanya akan menjadi proyek elitis yang melupakan keadilan sosial. Pembangunan digital sejati adalah yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa yang adaptif terhadap perkembangan teknologi finansial. Namun, kesiapan infrastruktur, literasi masyarakat, dan keadilan akses harus menjadi prioritas utama dalam proses transformasi ini. Cashless society seharusnya tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi juga refleksi dari kemajuan sosial yang merata. Jika tantangan ini diabaikan, kita berisiko membangun sistem yang mempercepat ketimpangan dan menciptakan eksklusi baru. Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap implementasi cashless society sangat penting agar Indonesia tidak hanya menjadi digital secara bentuk, tetapi juga inklusif secara substansi. Visi Indonesia cashless harus berjalan bersama dengan visi Indonesia yang adil dan berdaya untuk semua lapisan masyarakat.

REFERENSI:

Jagaddhita, I. K. E. S., & Kusuma, P. S. A. J. (2024). Tinjauan Literatur: Implementasi Penggunaan E-Money sebagai Pendukung Cashless Society di Indonesia. KOMPLEKSITAS: Jurnal Ilmiah Manajemen, Organisasi Dan Bisnis. https://ejurnal.swadharma.ac.id/index.php/kompleksitas/article/view/533

Mauladi, K. F., Jaya, I. M. L. M., & Esquivias, M. A. (2022). Exploring the Link Between Cashless Society and Cybercrime in Indonesia. Journal of Telecommunications and the Digital Economy. https://jtde.telsoc.org/index.php/jtde/article/view/533

Nurdin, H., Waspada, I., & Sari, M. (2023). The Dynamics of Cashless Society: A Systematic Review. Advanced International Journal of Business, Entrepreneurship and SME’s (AIJBES). https://gaexcellence.com/index.php/aijbes/article/view/279

Pratiwi, R. E., & Saefullah, K. (2023). The Use of Payment Technology Through Financial Literacy. Journal of Digital Innovation Studies. https://jurnal.unpad.ac.id/digits/article/view/38516

Priambodo, W., Munna, A., Pratama, D. Y., & Supriyanto, A. (2024). Penerapan Technology Readiness Acceptance Model (TRAM) dalam Mengukur Kesiapan dan Penerimaan Teknologi Cashless. SOSCIED. https://jurnal.poltekstpaul.ac.id/index.php/jsoscied/article/view/750

Rachmatika, A. G., Saifi, M., & Worokinasih, S. (2023). The Influence of Financial Literacy, Financial Technology on Financial Inclusion Mediated by Cashless Policy. Journal of Indonesian Applied Economics. https://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/view/1209

Wasilah, A. A. K., Ashari, D. R. W., & Naimah, N. N. (2023). The Role of Digital Payment Systems in Enhancing Financial Inclusion: A Literature Review in the Context of Indonesian Banking. Journal of Economics and Banking ESPAS. https://www.ojs.unublitar.ac.id/index.php/espas/article/view/1827

Woo, S. (2024). An Asian Icon Is Facing Extinction: The Volunteers Who Help Drivers Make U-Turns. The Wall Street Journal. https://www.wsj.com/lifestyle/traffic-controllers-drivers-indonesia-jakarta-6a542f45

Penulis: Putri Ariby Dahlania

Posting Komentar untuk "Essai Bulan Mei: "Dari Dompet ke Digital: Refleksi Kritis atas Ambisi Indonesia Mewujudkan Cashless Society di Tengah Kesenjangan Akses dan Literasi""