Perkembangan teknologi digital memberikan dampak signifikan bagi kehidupan generasi Z. Salah satu efek yang paling nyata adalah pola konsumsi yang terbentuk akibat interaksi di platform media sosial. Kehadiran media sosial tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai arena untuk menunjukan gaya hidup, tren, dan iklan yang memengaruhi perilaku finansial. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) muncul ketika seseorang merasa perlu mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan. Hal ini berkaitan langsung dengan kebiasaan menabung yang sering kali diabaikan oleh generasi muda.
Fenomena FOMO semakin terlihat jelas saat dihubungkan dengan kondisi literasi finansial di Indonesia. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Keuangan (SNLIK) tahun 2025, menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat mencapai sekitar 66,46 persen, yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan yang sudah mencapai 80,51 persen. Hal ini berarti, meskipun Gen Z sudah sangat mudah mengakses layanan keuangan digital seperti e-wallet, namun pemahaman tentang manajemen keuangan masih terbatas. Ketidakseimbangan ini menjadi celah perilaku FOMO untuk memengaruhi gaya hidup konsumtif. Akibatnya, banyak anak muda yang lebih sibuk menghabiskan uang untuk mengikuti tren daripada membangun tabungan atau investasi jangka panjang.
Berdasarkan kondisi tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana peran media sosial dalam mendorong FOMO yang berpengaruh pada gaya hidup Gen Z, khususnya dalam hal literasi finansial dan kebiasaan menabung? Apa yang dapat dilakukan agar generasi ini mampu menyeimbangkan antara kebutuhan aktual, eksistensi di media sosial, dan keberlanjutan finansial di masa depan?
Media sosial bekerja dengan cara yang sangat halus dalam membentuk pola pikir penggunanya. Generasi Z terbiasa melihat sorotan hidup orang lain yang penuh dengan keberhasilan, perjalanan mewah, atau barang-barang baru dan tetntunya juda dari jejak digital yang sedang trend sekarang ini seperti Tik-Tok, Instagram, dan Faceebook. Dari sana timbul rasa cemas bila tidak ikut serta, sehingga muncul dorongan konsumtif. Keputusan belanja sering kali diambil tanpa perhitungan matang karena dipicu oleh iklan, flash sale, atau tren viral.
FOMO yang dipicu media sosial juga berdampak pada pola tabungan. Menabung memerlukan kesabaran dan konsistensi, sementara FOMO mendorong gratifikasi instan. Akibatnya, tabungan sering kali hanya menjadi wacana, kalah oleh kebutuhan untuk segera mengikuti tren. Ketika fenomena ini berlangsung secara terus-menerus, Gen Z menghadapi risiko finansial: sulit memiliki dana darurat, rentan terjebak utang konsumtif, dan kehilangan kesempatan membangun masa depan finansial yang stabil.
Meskipun demikian, media sosial tidak selalu membawa dampak negatif. Justru platform ini bisa dimanfaatkan untuk membalik FOMO menjadi Joy of Missing Out (JOMO), yaitu kepuasan karena berhasil menahan diri dari pembelian impulsif. Banyak kreator konten yang mulai mengedukasi tentang literasi finansial, gaya hidup minimalis, hingga tantangan menabung dengan cara yang kreatif dan mudah diterima Gen Z. Apabila media sosial mampu diarahkan sebagai sarana edukasi keuangan, maka FOMO bisa dialihkan menjadi motivasi positif untuk berkompetisi dalam menabung atau berinvestasi.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pertama, pendidikan finansial perlu diperkuat sejak dini, baik di sekolah maupun kampus, melalui materi praktis seperti cara membuat anggaran, memahami bunga tabungan. Kedua, Gen Z perlu menerapkan strategi sederhana seperti menyisihkan tabungan di awal sebelum membelanjakan uang, menunda keputusan pembelian selama 24 jam untuk menghindari impuls, dan memanfaatkan aplikasi pencatat keuangan untuk memantau pengeluaran. Ketiga, platform media sosial dan kreator konten sebaiknya lebih gencar mendorong narasi yang sehat, misalnya melalui kampanye tabungan digital, tantangan literasi keuangan, atau kisah inspiratif tentang keberhasilan mengatur uang.
FOMO adalah suara yang berkata “sekarang atau tertinggal”, sementara tabungan adalah suara yang berbisik “pelan tapi pasti”. Keduangan hidup berdampingan dalam diri gen-Z yang tumbuh di era digital, tugas kita bukan mematikan salah satunyaa, melainkan mengatur keseimbangan agar tidak saling menelan. Dengan literasi finansial yang baik, generasi Z dapat menempatkan media sosial bukan sebagai jebakan konsumtif, melainkan sebagai sarana pembelajaran. Menabung bukan berarti kehilangan momen, melainkan memastikan masa depan yang lebih tenang. Pada akhirnya, pertarungan antara FOMO dan tabungan bukanlah tentang memilih salah satu, melainkan tentang menemukan keseimbangan. Jika seseorang mampu memanfaatkan teknologi dan media sosial secara bijak, maka dapat tetap menikmati tren kekinian sekaligus membangun fondasi finansial yang kuat untuk masa depan.
Penulis: Rahmawati
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Agustus: "Antara FOMO dan Tabungan: Dampak Media Sosial terhadap Literasi Finansial dan Gaya Hidup Gen Z""