Di tengah gelombang disrupsi teknologi yang tak terbendung, dunia kini bergerak menuju peradaban baru: era Society 5.0. Sebuah konsep revolusioner yang dicetuskan oleh Jepang ini tidak hanya menjanjikan kemajuan berbasis kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), dan big data, tetapi juga menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Konsep ini menjadi peluang emas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menyelaraskan percepatan teknologi dengan karakter lokal. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan kritis: bagaimana Indonesia dapat menciptakan model ekonomi yang adaptif, berbasis digital, namun tetap mencerminkan identitas budaya yang otentik?
UMKM sebagai penopang utama perekonomian Indonesia memiliki posisi strategis dalam menjawab tantangan tersebut. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2021) mencatat bahwa lebih dari 64 juta unit UMKM berkontribusi signifikan terhadap 61,07% Produk Domestik Bruto (PDB) dan 97% penyerapan tenaga kerja nasional. Namun, tantangan utama yang dihadapi UMKM saat ini bukan hanya soal modal atau pemasaran, tetapi ketertinggalan dalam transformasi digital dan rendahnya pemanfaatan potensi kearifan lokal sebagai nilai tambah bisnis.
Kearifan lokal adalah sumber daya non-material yang lahir dari interaksi masyarakat dengan lingkungannya secara turun-temurun. Nilai-nilai ini terwujud dalam produk budaya seperti batik, tenun, ukiran kayu, alat musik tradisional, hingga kuliner khas daerah. Seringkali, produk-produk tersebut tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga mengandung filosofi kehidupan yang luhur. Namun sayangnya, dalam dinamika pasar digital yang cepat, kearifan lokal kerap terpinggirkan, dikalahkan oleh produk-produk massal yang seragam dan minim nilai budaya.
Padahal, jika diintegrasikan dengan pendekatan digital secara cerdas, kearifan lokal justru bisa menjadi senjata strategis yang memperkuat daya saing UMKM di pasar nasional maupun global. Di sinilah pentingnya menciptakan ekosistem digital kreatif berbasis lokalitas. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pengembangan platform digital terintegrasi bernama LokaPreneur, sebuah aplikasi berbasis mobile yang dirancang secara khusus untuk memberdayakan UMKM dengan menggabungkan fungsi edukasi digital, pemasaran produk, dan pelestarian budaya.
LokaPreneur bukan hanya marketplace biasa. Ia adalah ruang interaktif yang memungkinkan pelaku UMKM untuk:
1. Menjual produk khas daerah yang dikurasi berdasarkan keunikan lokal dan nilai budaya;
2. Mengikuti pelatihan singkat (microlearning) tentang branding, fotografi produk, pemasaran digital, dan manajemen keuangan dalam format video pendek dan interaktif;
3. Berjejaring dalam komunitas virtual yang memfasilitasi kolaborasi antar pelaku UMKM lintas daerah;
4. Mendapatkan sertifikasi budaya sebagai bentuk jaminan keaslian produk lokal yang dapat meningkatkan kepercayaan konsumen.
Model ini menempatkan UMKM bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai subjek kreatif yang menciptakan nilai baru dari warisan budaya yang mereka miliki. Dalam konteks ini, digitalisasi bukan hanya alat efisiensi, melainkan strategi transformatif yang memperkuat posisi UMKM sebagai penggerak utama ekonomi berbasis budaya.
Tentu, transformasi ini tidak dapat berjalan tanpa hambatan. Tantangan seperti keterbatasan literasi digital, minimnya infrastruktur internet di daerah, hingga resistensi budaya terhadap perubahan teknologi masih menjadi batu sandungan yang harus diatasi. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan pentahelix — kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator infrastruktur; akademisi sebagai sumber riset dan pengembangan konten pelatihan; pelaku usaha dan start-up teknologi sebagai mitra dalam pengembangan platform; sementara komunitas budaya menjadi penjaga nilai dan keaslian produk lokal.
Selain itu, literasi digital harus dipahami sebagai bagian dari literasi budaya baru. Pelaku UMKM perlu didorong untuk tidak hanya “melek digital”, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk menceritakan kembali narasi lokal dalam bahasa visual dan digital yang universal. Misalnya, seorang pengrajin anyaman dari Kalimantan bisa membuat konten pendek di media sosial yang menjelaskan makna motif dalam kerajinannya, atau petani kopi dari Toraja bisa membuat vlog perjalanan biji kopi dari kebun hingga cangkir. Cerita-cerita seperti ini bukan hanya meningkatkan nilai jual, tetapi juga membangun emotional branding yang kuat di mata konsumen.
Langkah-langkah ini juga selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama poin 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, serta poin 11 tentang kota dan komunitas berkelanjutan. Dengan kata lain, strategi ini bukan hanya bermanfaat secara ekonomi, tetapi juga mendukung pelestarian budaya dan penguatan identitas nasional.
Menghadapi era Society 5.0, Indonesia tidak perlu menjadi peniru belaka dalam tren global digitalisasi. Sebaliknya, Indonesia dapat menjadi inovator dengan menjadikan kekayaan lokal sebagai tulang punggung transformasi ekonomi. Digitalisasi yang berpijak pada budaya lokal adalah jalan tengah yang menjembatani antara tradisi dan modernitas, antara warisan dan inovasi, antara ekonomi dan kemanusiaan.
Dengan mengembangkan pendekatan seperti LokaPreneur, kita tidak hanya memberdayakan UMKM, tetapi juga mengangkat kembali martabat budaya bangsa di panggung global. Produk lokal tidak lagi hanya menjadi barang jualan, tetapi simbol dari semangat inovasi yang menghargai akar dan melangkah maju ke masa depan. Inilah wajah baru ekonomi kreatif Indonesia: inklusif, digital, dan tetap membumi dalam kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA:
Departemen Perdagangan Republik Indonesia. (2009). Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Jangka Panjang. Jakarta.
Kementerian Koperasi dan UKM. (2021). Laporan Tahunan UMKM 2021.
Sartini. (2004). “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Suatu Kajian Filsafati”. Jurnal Filsafat, 37(2), 111–120.
Schwab, K. (2016). The Fourth Industrial Revolution. Geneva: World Economic Forum.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
UNESCO. (2017). Intangible Cultural Heritage and Sustainable Development. Paris: UNESCO Publishing.
Penulis: Rachmat Hidayat B.
Posting Komentar untuk "Essai Bulan Mei: "Digitalisasi Ekonomi Kreatif Berbasis Kearifan Lokal: Strategi Inklusif dan Inovatif Meningkatkan Daya Saing UMKM Indonesia di Era Society 5.0""